Monday, September 17, 2007

Gempa + R (Rumor) = Gempar

Masih ingat isu gempa besar dan tsunami yang dikabarkan akan melanda beberapa kawasan Indonesia awal Juni lalu ? Konon katanya berawal dari salah satu stasiun televisi terkemuka dunia, yang diteruskan menyebar melalui sms. Menurut kabar yang entah kabar burung atau kabar monyet itu, ibukota Jakarta merupakan salah satu kawasan yang akan ikut diguncang. Maka paniklah para cosmo man dan cosmo girl yang rutinitasnya dihabiskan di gedung-gedung pencakar langit, yang kerap menjadi sasaran empuk gempa.

“Aduh boo’..gue pokonya ga mau masuk kantor besok. Daripada gue brojol di tangga darurat !! ”, celetuk seorang teman wanita yang sedang hamil tua.

Itu sih belum seberapa, namanya juga orang hamil, membayangkan proses kelahiran saja parno, apalagi ditambah gempa ?! Tapi kalau yang paniK seorang laki-laki tulen dengan gelar master of bussines administration, yang sehari-hari duduk di ruang terpisah dari staf lainnya, dengan seorang sekretaris pribadi duduk di depan ruangannya ?? …Mmmmm….beli ya mas gelarnya ??

Hal serupa juga hampir saja terjadi pasca gempa besar dengan kekuatan 7,9 skala richter yang memberikan duka bagi warga Bengkulu dan sekitarnya di awal Ramadhan ini. Beberapa hari berselang muncul berita kalau kawasan di pulau Jawa dan Sumatera diprediksi akan merasakan guncangan hebat dengan kekuatan 9 skala richter, dengan berdasarkan indikasi - indikasi tertentu mengenai pergerakan lempengan bumi dalam keilmuan geofisika. Walaupun tak diperinci kapan dan di mana tepatnya pusat getaran, tapi di beberapa media cetak nasional sampai memosisikan berita tersebut sebagai headline di halaman utama, dengan narasumber Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG). Untung saja dalam waktu yang singkat, Kepala BMG Indonesia Sri Woro Budiati Harijono langsung menyangkal kabar burung, monyet dan teman – temannya itu.

Pasca gempa dan tsunami yang membumi hancurkan Nanggroe Aceh Darussalam akhir 2004 lalu, informasi mengenai teknologi bencana terutama gempa, ramai dibicarakan oleh berbagai media nasional dan internasional. Tentunya kalau media yang berbicara sudah pasti pengaruhnya sangat besar dong, apalagi bagi para kalangan terpelajar yang seharusnya mudah mencerna informasi.

Salah satu yang paling sering kita dengar yaitu Early Warning System. Suatu alat teknologi mutakhir yang dalam sekian detik mampu mendeteksi getaran gempa tektonik (di laut), apakah berpotensi menimbulkan tsunami atau tidak. Itupun setelah gempa terjadi, dan bukannya memprediksi kapan terjadinya gempa ya. Secanggih-canggihnya seismograph hanya bisa mencatat dan mengukur besarnya getaran yang terjadi, bukan memprediksi, meramal atau dan sebagainya. Bahkan Menristek Kusmayanto Kadiman dalam sebuah media massa mengatakan, kalau teknologi Early Warning System walau canggih sekalipun ternyata tidak dapat dijamin tepat 100 persen. Menurutnya masih banyak faktor-faktor yang bisa mempengaruhi kerja alat pendeteksi tersebut.

Mungkin anda yang sedang membaca tulisan singkat ini tahu mana negara yang kerap menjadi salah satu langganan gempa. Yup, Jepang ! Negara yang pernah menjajah negeri kita sebelum negerinya sendiri merasakan ganasnya bom atom Amerika ini paham betul bagaimana menyikapi dan mengantisipasi gempa bumi. Bahkan kurikulum pendidikan sejak tingkat dini di sana sudah mengenal pembelajaran mengenai gempa. Sehingga diharapkan jika kelak bencana itu datang, mereka pun sudah mengenal langkah-langkah keselamatan yang baik dan benar, dengan dukungan pendidikan dini mengenal gempa.

Hmm..ngomong-ngomong soal wilayah yang sering dilanda gempa, bukannya wilayah geografis kita juga merupakan salah satu yang rawan gempa ya ?

Betul sekali !! Masih ingat istilah ring of fire ?? Daerah yang sering mengalami gempa bumi
dan letusan gunung berapi, yang mengelilingi cekungan Samudera Pasifik. Daerah ini berbentuk seperti tapal kuda dan mencakup wilayah sepanjang 40.000 km. Daerah ini juga sering disebut sebagai sabuk gempa Pasifik, yang tanpa permisi sudah mampir membelah peta geografis Indonesia. Tapi para ilmuwan sepertinya sudah seringkali menghimbau kalau kapan dan di mana terjadinya gempa, hingga kini belum bisa diprediksi dengan teknologi yang sudah ada sekarang.

Salah satu cara yang tepat ya dengan meniru negeri sakura Jepang dengan menerapkan dalam kurikulum pendidikan pelajaran mengenai gempa bumi secara kompleks, berikut langkah-langkah teknis menghadapinya. Dengan metode pembelajaran seperti itu korban bencana gempa bumi yang dahsyat sekalipun pasti bisa sedikit diredam. Paling tidak mungkin tidak ada lagi cerita mengenai segerombolan orang yang memanfaatkan surutnya air pantai pasca gempa tektonik dengan mengambil ikan-ikan yang keleparan.

Tak lama berselang setelah terjadi gempa bumi di Jogjakarta Mei 2006 yang lalu, saya sempat menonton sebuah film televisi di SCTV, yang bercerita mengenai seorang perantau yang sukses meniti karir di Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), Jakarta. Dalam cerita itu, si perantau harus sesegera mungkin memberi peringatan dini kepada sanak saudara dan orang tua, serta warga kampung halamannya di desa antah berantah, kalau dalam waktu yang sangat singkat akan terjadi gempa besar di daerah tersebut.

@##$#@!!?$#%$@%$!!*&

Apa bukan merupakan suatu teknik pembodohan ini namanya ??? Apa produser dan sutradaranya juga tidak pernah menonton atau membaca berita ??? Ko’ sampai-sampainya sebuah badan Negara disulap menjadi katro !!! Terlepas itu film fiksi, tetap saja segala sesuatunya harus disesuaikan dengan akal sehat manusia dong !!

Bukan bermaksud menggurui atau sok pintar. Tapi saudara-saudara kita di negeri tercinta ini masih banyak yang (maaf) bodoh, Bung !! Negara kita ini kan bangsanya setengah maju-setengah mundur. Jadi janganlah makin memperbodoh bangsa sendiri dengan isu atau rumor yang tidak logis. Bukannya gempa yang terjadi, tapi malah gempa + r , alias gemparrrrr !!!!!

Sunday, September 16, 2007

Balada Tombak, Pedang dan Peluru

Tak ada aktifitas yang lebih menggiurkan selain tidur dan bermalas-malasan di hari libur yang bebas dari segala kepenatan. Terutama penatnya merasakan kemacetan jalanan ibukota yang blerlkeberjbklaebjrljebr, alias berlibet bak benang kusut. Kebetulan jatah libur saya adalah hari Jum’at dan Sabtu. Untuk hari Jum’at, biasanya setelah istri berangkat kerja, saya pun melanjutkan tidur malam yang sedikit kepotong hingga pukul 10:00 wib, sambil menonton tayangan program yang saya kerjakan di kantor. Setelah itu tentunya Jum’at-an, yang diteruskan dengan acara makan dan tidur siang (lagi-red). Lanjut sorenya menjemput istri tercinta di kantor, kemudian sambil menunggu “benang kusut” kembali “tergulung rapi”, bersama teman-teman kami sering mengadakan meeting mingguan alias ngopi-ngopi di mal. Sedangkan untuk hari Sabtunya, yaa biasalah, kalau ga’ midnite-an film baru ya paling menyambangi undangan resepsi pernikahan yang tak ada habis-habisnya itu.

Tapi ada yang sedikit berbeda dari minggu-minggu biasanya. Jum’at pekan lalu saya terpaksa tidak bisa bermalas-malasan karena ada sebuah peristiwa yang terbilang langka. Apalagi kalau bukan berita dari timur jauh Pulau Ambon, tempat di mana simpatisan Republik Maluku Selatan (RMS) berhasil menorobos “tebalnya” pengamanan acara peringatan Hari Keluarga Nasional ke-61 yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Lapangan Merdeka, Ambon.

Weeekkk….!!!!! Kaget, terkejut, tapi agak sedikit senyum-senyum sekaligus tak heran mendengar berita tersebut. Coba bayangkan, pengamanan Presiden yang berlapis-lapis super ketat bisa tertembus puluhan penari ilegal yang tergabung dalam Republik Maluku Selatan (RMS), sebuah kelompok separatis yang kecewa terhadap lambatnya proses pembangunan di Maluku oleh pemerintah.

Seketika langsung saja saya pencat-pencet nomer telfon rekan-rekan yang connected dengan kegiatan kepresidenan, dan rekan koresponden di sana, dengan berinteraksi lewat sms:

Saya : Oii…gimana tuh, ko’ bisa bobol ??
Rekan 1: Aduuhh, payah deh pokonya !

Saya : Heh, di mana lo ?? Ikut ke Ambon ga ??
Rekan 2: Ga, gue libur

Saya : Gmana, dapet ga gambarnya ??
Rekan 3:Dapet.

Tiga ring atau tiga area lingkar pengamanan yang biasa diterapkan dalam prosedur keamanan Super VVIP seperti Presiden, biasanya diisi oleh personel dari Kepolisian untuk ring 3 atau yang terluar, kemudian personel TNI untuk ring 2, dan yang paling dalam atau yang paling dekat dengan Presiden diisi oleh personel Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres) yang siap sedia menjadi benteng perlindungan sang Kepala Negara. Saya yang sering ikut acara Kepresidenan tahu betul bagaimana ketatnya pengamanan di lokasi. Kalau dihitung-hitung total tak kurang lah dari seratus personel keamanan yang standby di pos-nya masing-masing. Belum lagi metal detector yang bertebaran di mana-mana yang siap menyensor siapa pun yang membawa alat-alat berbahaya. Ditambah lagi setiap orang yang ingin masuk kudu-harus-wajib memegang kartu identitas khusus, yang sebelumnya didapat dari hasil screening oleh Biro Pers dan Media Kepresidenan.

Nah, kurang ketat apalagi coba ?! Maka dari itu saya sampai tak habis pikir, ko’ bisa-bisanya puluhan orang tak dikenal bablas masuk dengan berbagai atribut seperti tombak dan pedang, walaupun hanya terbuat dari kayu, serta bendera “kenegaraan” mereka. Melihat tayangannya pertama kali saja bulu kuduk berdiri merinding, karena terlihat seperti adegan dalam film yang menggambarkan upaya pembunuhan Kepala Negara oleh sekelompok suku pedalaman yang sadis. Untung saja tombak-tombak yang mereka bawa tidak dilemparkan ke tribun Presiden. Duhh, piye iki ??

Jadi siapa yang seharusnya “mengaku” bersalah dan bertanggung jawab ?? Dari mulai Kapolri, Panglima TNI, serta Danplek (Komandan Komplek) Paspampres pun bernada beda, bahkan terkesan saling melempar tanggung jawab.

Sesaat setelah insiden terjadi Kapolri melalui Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Pol Sisno Adiwinoto mengatakan kalau pihaknya tidak kebobolan melainkan aksi “penggagalan” pembentangan bendera RMS justru buah cermin kecermatan anggotanya. Sedangkan Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto mengatakan kalau itu merupakan kelalaian aparat. Tapi dengan sensitif Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sjamsir Siregar merasa tersinggung kalau pihaknya sudah kebobolan. Malah dengan “telatnya” pihaknya merasa telah memberi informasi kepada semua pihak, termasuk penyelenggara, soal rencana penyusupan pembentangan bendera RMS, jauh-jauh hari sebelumnya.

Nah, bagaimana dengan Paspampres ??

Saya jadi ingat beberapa kali kasus “kebobolan” juga pernah terjadi di dalam lingkungan Istana Kepresidenan sendiri. Beberapa teman wartawan yang tidak memiliki akses masuk resmi bahkan driver sebuah stasiun televisi swasta yang tidak mempunyai kepentingan pun bisa berkeliaran bebas di dalam istana, setelah menembus barikade pengamanan pintu masuk yang dijaga ketat oleh beberapa anggota Paspampres, yang berjumlah dua check point.

Lah, ko’ bisa ?? Caranya gampang, tinggal menunggu serombongan wartawan istana yang ingin masuk saja dengan bergabung di tengah-tengah antrian mereka, maka masuklah dengan aman dan lancar ke titik paling vital negara. Padahal dua check point yang ada itu benar-benar dijaga oleh mas-mas berbadan tegap dan sangar dari satuan Paspampres.

First check point ada di pintu masuk kendaraan ber-sticker resmi istana persis di pinggir Jalan Veteran di sayap kiri istana. Di situ semua orang yang masuk harus menunjukkan ID Card resmi keluaran Biro Pers dan Media Rumah Tangga Kepresidenan, serta melewati security door untuk orang, dan x-ray untuk barang-barang yang dibawa. Pakaian yang dikenakan pun harus formal, yaitu celana bahan dan kemeja serta sepatu pantopel untuk pria. Sedangkan untuk perempuan rok atau celana bahan serta kemeja atau blous, lengkap dengan sepatu ber-hak wajib dipakai. Bagi yang tidak memiliki ID Card resmi, harus meninggalkan terlebih dahulu kartu tanda pengenal, serta selanjutnya melalui sedikit screening oleh staff Biro Pers. Setelah melewati check point pertama yang menghubungkan dunia luar dengan area Rumah Tangga Kepresidenan, pengunjung harus melewati lagi second check point bagi yang memiliki keperluan penting di Istana Negara dan Istana Merdeka, serta kantor Presiden. Biasanya para wartawan istana bisa bebas keluar masuk lingkungan ini karena kebutuhan peliputan berita.

Kebayang kan, bagaimana susahnya menembus “3 area pertahanan” sang Kepala Negara ?? Maka sepatutnya tak usahlah saling menuduh siapa yang harus bertanggung jawab. Wong pengamanan dalamnya saja “sering” kebobolan ko’. Tapi anehnya ya itu tadi, bagaimana puluhan orang dengan berbagai alat tari berupa tombak dan pedang bisa menembus ribuan puluru yang siap kokang ??

Silahkan jawab sendiri dengan akal sehat. Terima kasih.

Wayang = Orang Indonesia

Jauh berbeda dengan kamar tidur anak kecil kebanyakan yang dihiasi poster, mainan figure super hero atau boneka, sejak duduk di taman kanak-kanak saya terbiasa memandangi jejeran wayang kulit yang digantung di sekeliling dinding kamar. Ada Pandawa Lima bersaudara; Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa; ada juga tokoh manusia setengah kera, Hanoman; dan juga tak ketinggalan si otot kawat tulang baja, Gatotkaca. Mereka semua adalah para ksatria dalam cerita pewayangan.

Memang sejak kecil ayah yang memang asli anak pesisir pantai utara Jawa sudah menanamkan budaya leluhur kepada anak-anaknya. Salah satunya ya melalui wayang tadi. Tujuannya jelas, demi pembentukan diri agar terbentuk pribadi yang luhur dalam diri anak-anaknya.

Beberapa waktu lalu di sebuah media cetak nasional, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI Jero Wacik menyinggung soal pentingnya pelestarian wayang sebagai salah satu kekayaan budaya bangsa. Menurutnya unsur cerita dan tokoh pewayangan memiliki nilai dan pesan filsafat kehidupan yang sangat tepat untuk membentuk budaya bangsa yang akan menjadi potret orang Indonesia sampai kapan pun.

Saya setuju, dan sangat-sangat setuju dengan pemikiran beliau. Bahkan itulah yang menjadi alas an kenapa saya membuat tulisan singkat ini.

Menurut beberapa sumber, wayang mulai berkembang di Indonesia sebelum masuknya ajaran Hindu di pulau Jawa. Dan pertunjukan kesenian wayang adalah salah satu bentuk upacara keagamaan orang Jawa yang menganut kepercayaan animisme dan dinamisme, mengenai sosok leluhur yang dituangkan dalam bentuk gambar di atas sehelai daun lontar. Kemudian selanjutnya seiring masuknya ajaran Hindu, kerajaan – kerajaan Jawa yang menganutnya bertahap mengembangkan wayang yang dilebur dengan cerita – cerita atau epos (karya sastra kuno-red) dari India. Masih ingat film Mahabarata yang diputar di sebuah stasiun televisi swasta pada pertengahan tahun 90-an ?? Nah itulah salah satu epos yang paling terkenal yang bercerita tentang konflik para Pandawa Lima dengan saudara sepupu mereka Kurawa, mengenai sengketa hak pemerintahan tanah negara Astina. Puncaknya adalah perang Bharatayuddha di medan Kurusetra. Pertempuran tersebut berlangsung selama delapan belas hari.

Metamorfosa dari jaman ke jaman itulah yang menandakan betapa hebatnya wayang sehingga terpatri dalam budaya bangsa, khususnya Jawa. Mungkin lebih tepatnya lagi menjadi cermin diri orang Jawa. Bukannya mentang-mentang saya orang Jawa lantas ingin membeda-bedakan suku dan ras bangsa Indonesia yang beragam lho, tapi toh memang pada nyatanya suku Jawa terbukti lebih dominan atau menjadi mayoritas di Indonesia, dari segi jumlah. Selain itu wayang pun juga akhirnya menyebar ke penjuru negeri ko’, dengan adanya wayang Bali dan bahkan sampai ke Melayu. Maka dari itu sangatlah tepat dan benar, perlunya keseriusan pemerintah dalam melestarikan wayang.

Saya pun sebenarnya akhirnya juga tidak terlalu mengerti dan memahami atau mendalami cerita pewayangan secara detil. Tapi setidaknya dari cerita wayang itulah saya mengetahui banyak manfaat dan pelajaran mengenai kehidupan yang sangat baik untuk dijadikan pedoman.

Salah satu cerita yang paling saya ingat adalah cerita mengenai asal usul sosok tokoh manusia raksasa yang penuh angkara murka, Rahwana.

Dalam cerita pewayangan Rahwana lahir dari suatu hubungan gelap antara seorang tokoh sufi yang sakti manderaguna, Begawan Wisrawa dan seorang puteri kerajaan Alengka, Dewi Sukesi. Pada jamannya Dewi Sukesi merupakan seorang puteri raja yang cantik jelita, dan kekasih dari Prabu Danapati, putera Begawan Wisrawa. Namun untuk melanjutkan hubungan keduanya ke jenjang bahtera rumah tangga ternyata harus menempuh banyak rintangan. Salah satunya harus mengubah sosok kedua orang tua Dewi Sukesi yang ternyata berasal dari golongan raksasa, menjadi wujud manusia.

Alih punya alih, ternyata tidak ada yang memiliki ilmu setinggi itu yang mampu menuruti keinginan Dewi Sukesi untuk mengubah hal yang sepertinya mustahil, selain Begawan Wisrawa, calon ayah mertuanya sendiri. Dan Dewi Sukesi nampaknya ingin menggunakan ilmu itu seorang sendiri. Lantas tidak tidak ada cara lain selain Begawan Wisrawa yang harus menransfer ilmunya ke si calon mantu.

Namun untuk menghindari adanya mahluk lain yang bisa ikut mendengar dan mempelajari mantera tersebut, dilakukanlah proses transfer ilmu di dalam ruangan yang amat sangat rapat tertutup. Tapi sayangnya mereka lupa kalau di ruang yang super ketat itu iblis masih bisa masuk. Apalagi mereka hanya berdua, antara seorang tua renta dan perempuan yang teramat cantik jelita.

Bisa ditebak, walaupun sudah tua renta ternyata dengan “bantuan” iblis Begawan Wisrawa ternyata kembali lagi syahwatnya layaknya anak muda yang menggelora. Dengan “bantuan” iblis pula Dewi Sukesi yang masih suci ternyata ikut membara, dan gelap mata melihat kejantanan calon mertuanya.

Dan, terjadilah sudah hubungan maksiat yang sangat menggemparkan dalam salah satu cerita
pada epos Ramayana itu, dengan hamilnya Dewi Sukesi. Mungkin akan untung jadinya kalau jabang bayi yang kelak lahir nanti menjadi seorang yang sakti manderaguna seperti Begawan Wisrawa. Tapi kalau sesosok anak raksasa seperti Prabu Sumali, Raja Alengka, yang juga ayahanda Dewi Sukesi ?!

Kejahatan menciptakan kejahatan, kebaikan pasti menciptakan kebaikan. Setiap niat jahat pasti menghasilkan kejahatan, dan setiap niat baik pasti menghasilkan kebaikan. Begitulah tadi cerita asal mulanya tokoh Rahwana, si raja kejahatan berwajah sepuluh yang amat sangat angkara murka dalam epos pewayangan Ramayana. Ceritanya sungguh apik dan amat sangat sarat makna, serta mudah dicerna. Bayangkan kalau nilai dan pesan yang sangat luhur ini tertanam dalam setiap jiwa bangsa Indonesia. Sehingga jiwa ksatria tidak hanya hinggap dalam siri sosok seperti Pandawa Lima bersaudara, tapi juga seluruh saudara-saudara kita sebangsa setanah air.

Tukul Goes to DPR

Luar biasa terkejutnya saya sewaktu mendengar kabar dari “Senayan”, alias kandang-nya para wakil rakyat yang tergabung dalam Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR, yang berencana membagi-bagikan lap-top kepada seluruh anggotanya, GRATISS !! Tak pelak langsung saja terbesit di benak dan otak saya, bahwa lagi-lagi telah muncul fenomena baru pasca Tukul Arwana yang meledak dengan jargon-nya, “Kembali ke LAP-TOP !!”. Seolah tak mau kalah dan memang sudah terbiasa dengan tak mau kalah, para anggota dewan ternyata juga kebelet memiliki seperangkat komputer tenteng guna mendukung kinerja mereka yang konon se-abrek.

Memang, bagi saya yang berprofesi sebagai jurnalis yang sering meliput berbagai agenda acara di sana, tahu betul jam kerja mereka yang kadang dimulai dari pagi buta hingga larut malam. Tapi ya mbo’ tahu diri, wong gaji sudah numpuk dengan berbagai fasilitas dan uang tunjangan yang lebih dari cukup, kan seharusnya mampu membeli lap-top dengan uang pribadi. Belum lagi mereka yang mempunyai bisnis lain di luar sana. Coba bayangkan, jumlah anggota DPR + MPR yang total keseluruhannya mencapai 550 anggota. Berarti dengan anggaran yang katanya 21 JRP (juta rupiah) per lap-top, maka total biaya yang dikeluarkan menyentuh angka hingga 11,5 MRP (miliar rupiah). 'Ndeso !!

Pakar telekomunikasi Raden Mas Tumenggung Roy Suryo bahkan menilai kalau lap-top tidak akan banyak membantu tugas para anggota DPR. Raden Mas juga menyarankan, seharusnya pengadaan peningkatan kinerja disesuaikan dengan kebutuhan tugas dan fungsi masing-masing anggota.

Betul Mas !! Saya setuju !! Kan sudah ada staff di tiap2 komisi, bahkan per-anggota juga sudah memiliki staff pribadi sendiri lengkap dengan berbagai fasilitas di ruang kerja yang cukup lux. Buat apa lagi mereka pakai lap-top ?? Wong di ruang rapat atau sidang kerjanya cuma ngguya-ngguyu, cengagas-cengenges, tidur, ngobrol, dan hanya segelintir anggota yang benar-benar kritis, dan cerdas terhadap masalah bangsa. Kalau ditambah lap-top bisa-bisa berubahlah sarana aspirasi rakyat menjadi sarana komunikasi dunia maya, alias warnet alias warung internet.

Tidak habis pikir saya, apa yang ada di otak mereka. Jangan-jangan berbeda dengan bentuk otak orang normal yang berliku-liku. Mungkin otak para anggota dewan terlihat lurus sehingga tidak mampu lagi berpikir secara rasional. Padahal lihatlah di luar sana bapak-bapak dan ibu-ibu yang terhormat, sangatlah masih banyak rakyat kita, bangsa kita yang sudah hampir satu tahun tinggal di pengungsian akibat lumpur panas-nya Pak Menkokesra; yang lumpuh layu akibat gizi buruk; yang putus sekolah dan harus berjualan koran di pinggir jalan; yang harus mengais tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir. Semuanya dilakukan demi sesuap nasi karena kehidupan ekonomi mereka yang terhimpit dan masih jauh di bawah garis kemiskinan.

Tak tahu lagi apa yang harus dilakukan bangsa yang seharusnya besar ini, untuk keluar dari krisis multi-dimensi. Yang seharusnya dimulai dari memperbaiki moral bangsa, sehingga bangsa ini tidak lagi menjadi negara besar, dengan bangsa yang kecil, tetapi menjadi negara besar, dengan bangsa yang besar pula.

Kalau begini terus, ya kita tunggu saja dari ruang rapat DPR yang selalu riuh bagai konser musik itu, kehadiran sosok Tukul Arwana yang lucu dan menggelitik, yang siap memotong serangan interupsi dengan kalimatnya, “Kembali ke LAP-TOP !!”

Negara Warung Sate

Langkah Presiden SBY yang berlarut-larut dalam proses reshuffle kabinet jilijd kedua yang akhirnya baru saja terealisasikan , tidak hanya menarik perhatian pentas politik, tapi juga seluruh lapisan masyarakat dan bangsa Indonesia. Setidaknya bagi saya yang kebetulan memiliki kesempatan berada dekat dengan sang decision maker untuk keperluan pemberitaan, yang geuleuh mengikuti dan menunggu perkembangan gerak-gerik dan manuver apa yang sebenarnya ingin ditempuh Presiden.

Tak kurang dari dua bulan sejak isu tersebut bergulir, kami (saya dan reka-rekan wartawan istana – red) praktis 24 jam non-stop selalu memonitor setiap suara yang keluar dari corong siapa pun di lingkungan kepresidenan. Tentu saja yang terjadi, hampir seluruh media massa di Indonesia memublikasikan rencana reshuffle sejak masih sebatas wacana, hingga detik-detik menjelang diumumkan.

Apakah memang ini strategi komunikasi Presiden yang sayangnya malah mencitrakan (image) dirinya sebagai pribadi yang penuh dengan keragu-raguan, tidak tegas, limbung dan mudah digoyang oleh tekanan partai politik yang diakomodir dalam kabinet ? Setidaknya lantas kesan yang timbul, Presiden telah menciptakan gaya public relations yang terlalu mengandalkan media dalam pembangunan citranya (media development), bukan masyarakat (community development).
Memang benar media merupakan salah satu alat yang paling sakti untuk membentuk citra baik pada sebuah lembaga maupun pribadi, namun tapi bukanlah yang satu-satunya. Masyarakat sudah lebih pintar menilai, sehingga tidak sedikit yang tidak percaya 100 persen terhadap media. Karenanya kedua strategi itu haruslah sama-sama digerakkan guna menghasilkan pencitraan yang sempurna, mengingat dewasa ini opini tidaklah hanya terbentuk lewat media. Sementara masyarakat sudah mampu membuat, bahkan memutar balik opini yang terbentuk.

Bayangkan saja, begitu sering Presiden berbicara lewat media hanya untuk sekedar menangkal serangan lawan politiknya, yang mengecap dirinya sebagai pribadi yang penuh keraguan dan ketidak tegasan dalam berbagai kebijakan yang diambil. Terakhir Presiden membela dirinya di tengah-tengah jamaah di sebuah Islamic Center di kawasan Kwitang, akhir April lalu.

Seharusnya tak perlulah seorang Presiden menanggapi sendiri hal-hal sepele semacam itu. Kalau mau dan jika sudah kepepet, masih ada juru bicara atau sekretaris kabinet yang bisa dijadikan mulut kedua. tapi juga lihat-lihat dulu, jangan semua bentuk kritikan ditanggapi walaupun keluar dari bibir jubir. karena selayaknya citra itu muncul dan terbentuk dari luar (publik), bukan dari dalam.

Bernegara itu layaknya usaha membuka sebuah warung sate yang laris dan diserbu pelanggan. Pertama, bagaimana agar warung bisa ramai pengunjung dan pelanggan (marketing and promotion). Kedua, bagaimana menjaga agar pelanggan tetap setia dengan menjaga kualitas makanan yang dijual. Semuanya itu mutlak wajib dipenuhi demi sebuah citra yang baik.

Bayangkan kalau kita membuka sebuah warung sate ayam, dan di depannya terpampang spanduk bertuliskan, “Bumbu Kacangnya Enak Lho !! Mampir Aja kalo ‘Ga Percaya !!”. Hmmm…. Kalau menurut saya sih itu agak narsis dan terkesan sebuah warung sate yang sepi pembeli tentunya. Tapi coba seandainya kita mengandalkan jurus ibu-ibu bergosip. Dari mulut ke mulut lontarkan saja kalimat seperti, “Eh Jeung, itu lho di sana ada warung sate ayam baru. Katanya sih bumbu kacangnya wuueenak, dan dagingnya wuueemmpukk !!”. Yaa, kalau masih tidak laris berarti memang rasa bumbunya yang kurang ma’nyuss, atau nasib kita yang kurang baik.

Seperti itulah seharusnya Presiden membentuk dan menjaga citranya. Mungkin akan lain cerita jika seandainya dirinya memosisikan diri sebagai pemilik warung sate, dengan staf khusus dan menteri-menterinya sebagai para operational manager, marketing, sales, finance dan lain-lainnya, sementara warga negara dan bangsa sebagai pembeli.

Sosok seorang Presiden seharusnya bukan untuk meladeni serangan dari lawan politiknya. Kalau mau ya dengan cara yang berbeda, seperti strategi komunikasi pemasaran (marketing) warung sate di atas misalnya. Dengan menggunakan alat-alat politik di bawahnya, seperti biarkanlah kader partainya yang meng-counter serangan-serangan lawan, sementara dirinya membereskan dari dalam dengan berbagai gebrakan. Salah satunya ya soal reshuffle yang terlalu berlarut-larut itu. Yang seharusnya bisa ditanggapi secara reaktif denga benar-benar menggunakan hak prerogatifnya.

Yaa, terlepas dari kepentingan partai politik yang menjadi koalisi pemerintah, maka kesan pribadi Presiden yang ragu-ragu dan tidak tegas, tentunya bisa sedikit diminimalisir.

Indra ke-Enam

Rasanya kurang afdol bila melewati malam di kota gudeg Jogja tanpa menyempatkan diri untuk melipat kaki sejenak untuk merasakan nikmatnya lesehan Angkringan, yang tak kalah nyaman dengan duduk-duduk di coffee shop hotel berbintang atau sudut-sudut mall seperti Starbucks dan Coffee Bean. Justru suasana kota Jogja yang sangat khas dengan bangunan-bangunan tuanya penginggalan kolonial Belanda yang mampu melupakan sesaknya tinggal di ibukota, yang dipenuhi deratan gedung pencakar langit, yang seakan membuat pupil mata jarang membesar.

Angkringan atau kalau bahasa gampangnya duduk di atas tikar dengan secangkir kopi jahe dan cemilan sebagai teman ngobrol, mudah sekali dijumpai di kota Jogja. Kebetulan pekan lalu saat mengikuti kegiatan Presiden di sana, saya dan beberapa teman wartawan sempat melewati malam dengan duduk-duduk di sekitar Alun-alun Keraton Kasultanan Jogjakarta untuk menikmati angkringan.

Hmm…benar-benar suasana yang sangat khas, apalagi ketika sekelompok penyanyi jalanan menyanyikan lagu kebangsaannya masyarakat Jogja ciptaan Mas Katon Bagaskara bersama Kla Project-nya.

Tapi ada daya tarik lain sebenarnya kenapa kami memilih Alun-alun Keraton, bukan di tempat lain seperti Jalan Malioboro. Yaitu sepasang pohon beringin yang selalu dipadati pengunjung, siang dan malam.

Ya betul, dua pohon beringin besar bilamana jika kita bias berjalan melewati di antara keduanya, konon apa yang kita inginkan akan terkabul, konon lagi artinya yang mampu hanyalah seorang yang berpribadi bersih dan lurus.

Tapi ternyata selama ini tidak banyak yang mampu menembus ruang kosong selebar kurang lebih sepuluh meter di antara dua pohon itu. Bahkan selama kurang lebih dari dua jam kami di sana, dari puluhan atau bahkan mungkin ratusan orang yang memenuhi area seluas lapangan bola tersebut, tak satupun yang berhasil. Padahal kalau dipikir, sepuluh meter itu kira-kira , hmmm…selebar tiga lajur jalan tol, plus lajur daruratnya lah.

Pantas saja, karena ternyata kita harus berjalan dengan mata tertutup, ditambah lagi waktu itu sudah gelap karena jam sudah menunjukkan pukul 22.00.

Lantas saya pun tertantang untuk mencobanya, dengan langsung menggunakan penutup mata yang banyak disewakan dengan harga 3000 rupiah, selamanya sampai berhasil atau frustasi.

Bismillahirrahmannirrahim… Langkah demi langkah pun mulai saya jejakan di jalur berpasir selebar 10 meter dengan panjang sekitar 50 meter.

Gelap, disorientasi, dan seketika sensitif sekali indera pendengar saya. Mungkin terjadi karena indera penglihat dilumpuhkan untuk sementara. Hal yang alamiah nampaknya terjadi tentunya.

Lantas mulailah saya berstrategi dengan berpatokan pada suara jangkrik dari arah pohon sebelah kiri telinga, suara orang mengaji dari belakang telinga kiri, dan suara tabuhan gendang dan gitar pengamen serta kendaraan motor yang selalu berpindah-pindah tempat, yang membuat konsetrasi buyar.

Sekitar 5 atau 10 menit kemudian setalh terbata-bata, tiba-tiba hamparan pasir di kaki berubah menjadi terasa seperti hamparan rumput. Harusnya genangan airlah yang terasa jika sudah hampir berhasil, bukannya rumput. Karena kebetulan beberapa jam sebelumnya sempat turun hujan, dan tepat di antara kedua pohon digenangi air semata kaki.

Lalu terpaksa saya bukalah penutup mata.

Duuaaaarrrr !!!!! kenapa melenceng jauh ke kanaann ????

Begitu seterusnya hingga uji coba yang mungkin sudah belasan kali, dan jarum jam sudah beralih ke angka sepuluh malam lewat. Artinya satu jam lebih sudah saya gagal menorobos rintangan.

Namun seakan ada panggilan jiwa yang meyakinkan bahwa saya bias melewati rintangan ini, sehingga untuk kesekian kalinya saya coba dan nampaknya inilah kesempatan terakhir. Yang artinya kalau gagal, berarti saya bukanlah orang yang berhati bersih dan lurus.

Sementara suara jangkrik selalu berpindah tempat, begitu juga yang lainnya sehingga sangat sulit untuk dijadikan patokan. Hanya saja sayup-sayup suara orang mengaji dari kejauhan masih terus terdengar dari belakang telinga kiri. Tapi anehnya ketika bertanya kepada teman-teman yang masih setia memberi semangat, tak satupun dari mereka yang mendengar suara orang mengaji.
Ya sudah, Bismillahirrahmannirrahim lagi… Denga penuh kehati-hatian dan konsentrasi saya coba untuk yang terakhir kalinya. Berhasil Alhamdulillah, tidak ya nasib.

Tapi beberapa menit kemudian,seketika suara menjadi sunyi senyap dan semua menghilang dari pendengaran. Yang tersisa kini hanya terasa sekali seperti keberadaan sesosok benda besar di kiri kanan saya, dan ruang yang sedikit bergema. Dan yang paling mengejutkan, air ternyata sudah menggenangi telapak kaki.

Subhanallah.. Tak lama terdengar suara riuh teman-teman dari belakang yang meneriakan keberhasilan saya melewati jalan di antara kedua pohon keramat itu.

Wuiiiiihhhh… Senangnya, akhirnya berhasil juga. Tak terasa memakan waktu sudah satu setengah jam lebih. Betis rasayanya ingin sekali langsung mendapatkan pijatan dari siapapun yang bersedia memijat.

Huuaahhh !!! Tak banyak ekspektasi, selain berdoa mudah-mudahan apa yang saya dambakan dan cita-citakan dapat tercapai, dan sosok pribadi yang bersih dan lurus itu hinggap dalam raga seorang Wahyu Adhika Wiwoho. Tentunya bukan karena mitos kedua pohon itu, melainkan karena filosifinya yang sangat bagus, didukung keimanan kita kepada Sang Pencipta.

Selain itu, bisa diambil pelajaran berharga bahwa sebenarnya setiap manusia bisa dan mampu memiliki indera keenam, yaitu instinct dan kekuatan positif pada diri. Atau paling tidak kita bisa menggunakan setiap indera yang ada pada tubuh untuk menutup kekurangan indera yang lain. Dalam hal ini indera pendengar sebagai alat bantu indera penglihat.
Tapi ngomong-ngomong, siapa yang mengaji ya ????

Thursday, September 13, 2007

Arisan Goceng

“Boo’..kocok lagi booo’...goceng – goceng aja !!!"

Hmm...Itu hanya sepenggalan cerita dibalik serunya kumpul - kumpul bersama para sahabat masa kuliah, yang setiap bulannya rutin menggelar arisan sampai sekarang. Enam orang laki – laki, enam orang perempuan. Persis segerombolan aktor dan aktris bintang film porno Vivid Interactive, yang sedang asyik ber-orgy ria.

Kami adalah alumnus sebuah perguruan tinggi swasta di pinggiran Ibukota Jakarta, yang cukup terkenal sebagai kampusnya orang – orang berduit. Tepatnya lagi, anak – anaknya orang berduit.

Uang seratus ribu bukanlah jumlah yang besar bagi para sahabat saya itu, untuk setidaknya sebulan sekali dikeluarkan untuk setoran arisan kami. Tapi buat saya, uang seratus ribu lumayan juga menguras kantong, berhubung rencana menikah yang kunjung dekat, dengan berbagai konsekuensinya untuk menggelar resepsi dan tetek bengek lainnya, serta konsekuensi hidup berumah tangga, termasuk urusan kantong. Apalagi, kami terbiasa mengadakan acara rutin tersebut yang selalu diadakan di tempat – tempat makan mahal, terkenal, dan tentunya yang sedang sering disambangi kaum eksis. Yaa, paling tidak tempat makan yang untuk menenggak sebotol air mineral saja, harus merogoh kocek 20 ribu rupiah-lah.

Tapi yaa namanya juga anak muda, yang masih seumur jagung lulus dari yang namanya kampus, setelah enam tahun lebih bergelut di dunia yang penuh problematika remaja yang beranjak dewasa. Bagi kami, yang penting adalah kebersamaannya, kumpul – kumpulnya, senda guraunya, sebagai obat penghilang stress setelah berhari – hari dikejar deadline dan omelan bos. Belum lagi kalau saya, ditambah semakin dekatnya tanggal pernikahan. Bukannya stress dan grogi menghadapi jajak baru kehidupan nanti, tapi stress oleh omelan dan paniknya calon istri.

Lumayan lah, hitung – hitung menabung di luar rekening bank. Sekali tarik setoran, cukup untuk membayar sisa – sisa hutang, akibat gaya hidup ala credit card.

Maka wajar, kalau kata – kata seperti yang keluar di awal cerita ini tadi, juga keluar dari mulut kawan – kawan yang butuh duit. Biasanya keluar dari jeritan si buntung, alias rugi, alias yang namanya belum juga muncul dari ujung sedotan yang dikocok di botol keramatnya orang – orang arisan.

Berbagai bilangan angka disebut, mulai dari yang paling besar, Ceban, Goceng, sampai yang paling kecil, Seceng, sering kali terlontar untuk mengatasi kekecewaan, dengan mengulang kembali kocokan baru dengan nilai – nilai yang jauh lebih kecil dari seratus ribu itu. Oya, sekedar pemberitahuan saja bagi rekan – rekan yang membaca, dan belum tahu apa itu Ceban, Goceng, dan Seceng. Tanpa mengurangi rasa hormat anda, bahwa ketiga kata tersebut itu adalah bahasa slang-nya 10 ribu, 5 ribu, dan seribu rupiah. Katanya sih bahasa dari negeri tirai bambu sana.

Bagi banyak orang, tentunya arisan lebih dari sekedar mencari keuntungan demi menambah penghasilan. Walaupun tak dipungkiri, pastinya kita mengharapkan kedatangan yang lebih cepat untuk melihat nama kita keluar dari ujung sedotan. Dengan teknik yang sedikit banyak mirip dengan aktivitas menabung di bank ini, arisan lantas digemari banyak kaum. Dari yang mulanya hanya kaum hawa yang melakukannya, kini tidak sedikit kaum adam yang juga ikut nimbrung.

Bahkan konon, ada juga arisan yang mengiming-imingi sesosok laki-laki tampan dan kekar bagi siapa yang namanya keluar dari ujung sedotan. Pastinya para anggota arisannya adalah kaum perempuan yang cukup berumur, yang sedang didera rasa jenuh kehidupan berumah tangga dengan sang suami yang sibuk menjadi CEO di perusahaannya, dan anak-anak yang sedang gemar kelayapan, yang pulang ke rumah cuma numpang tidur sebentar. Jadi kalau anda sering mendengar kata socialite, ya mereka itulah ibu-ibu socialite, yang setoran arisannya berjuta-juta rupiah, atau beribu-ribu dollar, yang tak lepas dari tas branded berharga puluhan juta dari genggamannya, dan dandanan rambut yang menjulang tinggi keatas, bak Marge Simpson.

Hmmm....whatever.......kalau bagi saya dan para sahabat, yang penting adalah kebersamaannya. Bukan nominal, bukan juga apa yang menjadi taruhannya. Chao !!

DUA

Dua. Bukan angka yang sulit bagi saya untuk dibicarakan, dibahas, dan dicari maknanya.
Dua. Bukan angka yang asing bagi saya untuk diterjemahkan apa artinya.
Dua. Merupakan angka yang paling setia menemani perjalanan hidup saya,
dan, dua. Bisa jadi merupakan angka keberuntungan saya.


Jauh sebelum memulai detik pertama kehidupan di dunia, angka dua sudah menjadi sesuatu yang identik dengan diri saya. Tepatnya sembilan bulan sebelum saya dilahirkan. Mungkin pada saat itu ayah sedang senang-senangnya berkata kepada teman-teman wartawannya, “Istri saya sedang mengandung anak kedua loh !” Karena memang saya adalah anak kedua sekaligus terakhir di dalam keluarga. Selanjutnya sembilan bulan kemudian lahirlah saya dengan dua bola mata, dua lubang hidung, dua daun kuping, dua buah lengan, dua buah kaki, dua buah puting, dan dua buah biji zakar. Diiringi dengan kata-kata yang keluar dari mulut sang dokter begitu keluar dari ruang persalinan, “Selamat, anak kedua bapak laki-laki. Anak dan ibunya dalam keadaan baik-baik. Sekarang keduanya sedang dipindahkan ke ruang perawatan.” Kemudian banyak sekali kiriman kartu ucapan selamat yang bunyinya, “Selamat atas kelahiran anak kedua. Semoga menjadi anak yang saleh dan bertakwa kepada Allah SWT.”

Setidaknya do’a tersebut lumayan terbukti sewaktu saya duduk di bangku sekolah dasar. Sejak kelas satu sampai empat, saya selalu menempati rangking kedua di kelas. Prestasi yang cukup membanggakan memang, walau sekalipun saya tidak pernah mengalahkan salah seorang sahabat yang selalu menempati rangking satunya. He’s a tough one. Begitu juga sewaktu duduk di bangku SMA. Saya pernah menjadi orang “kedua” di sekolah sebagai wakil ketua sebuah organisasi yang “sangat” berpengaruh di sekolah. Ya, kalau di negeri ini MPR-nya lah. Dan sekedar informasi, lagi-lagi si nomer satunya adalah sahabat saya. He’s a tough one.

Dengan beberapa pengalaman itu seharusnya saya terpacu bagaimana caranya untuk menjadi yang kesatu. Tapi ternyata angka dua memang nampaknya susah sekali dipisahkan. Beberapa kali ikut kompetisi bola basket pun harus puas dengan hanya menjadi juara kedua. Wow ! sedahsyat inikah angka dua itu ?

Bagaimana dengan urusan percintaan ? Topik yang sangat seru untuk dibahas, dan juga topik yang paling menarik untuk membuat sebuah buku menjadi sangat laris untuk diperjual belikan.

Cinta melibatkan dua jenis kelamin yang disatukan. Boleh yang berbeda jenis, atau yang sama jenis juga “diperbolehkan”. Pokoknya harus ada minimal dua orang untuk membuat sebuah percintaan. Kebetulan saya lebih suka memilih kelamin yang berbeda jenis dengan saya untuk dijadikan pasangan. Tapi bagaimana dengan angka dua yang selalu menemani itu ?

Kali ini mungkin angka dua tidak begitu berpengaruh dalam percintaan saya. Saya sudah lebih dari dua kali menjalin cinta, dan tentunya juga sudah lebih dari dua kali saya gagal di dalam cinta. Namun sering terjadi mencintai dua perempuan sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Tetapi bukan maksud mendua, menjadi orang kedua pun saya pernah, hanya saja sulit sekali memutuskan mana yang paling baik dari dua itu. Lalu akhirnya putus cinta, namun sering juga saya menjalin cinta lebih dari dua kali dengan perempuan yang sama. Pantang menyerah bukan ? Inilah salah satu nilai lebih dari angka dua.

Kini saya berada dipenghujung umur yang ke dua puluh dua (artikel ini dibuat 3 tahun lalu, alias tahun 2003-red), beberapa hari lagi umur saya akan menjadi dua puluh tiga, dan saya mulai menemukan apa itu sebenarnya angka dua.

Angka dua bagi saya berarti pantang menyerah, tidak mudah patah, selalu ingin mencoba lagi, lagi, lagi dan lagi. Itu berarti saya bukan orang yang mudah putus asa. Menjadi orang kedua pun bukan berarti sebagai orang yang kalah, hanya saja masih ada yang lebih baik, karena tidak menjadi yang ke dua belas, dua puluh, dua ratus, dua ribu, dua juta, dan seterusnya. Kalau tidak ada kedua berarti tidak ada kesatu. Dan dua juga merupakan sebuah sinergi, yang menggabungkan dua buah kekuatan. Lihat saja bendera kebangsaan kita, terdiri dari dua warna, merah dan putih. Merah berarti berani, dan putih berarti suci. Melambangkan bangsa Indonesia yang berani dalam raga, dan suci dalam jiwa. Juga Yin dan Yang, terdiri dari dua warna, hitam dan putih. Hitam mewakili kejahatan, dan putih mewakili kebaikan. Dan bilamana disatukan akan menjadi sebuah sinergi yang sangat kuat, yang sangat seimbang, yang menjadikan kehidupan sempurna.

Lembah Baliem dan Presiden SLANK

(Attention to all readers !!! this article published in 2004)

Sebelumnya saya tak pernah tahu kalau ternyata ada suatu daerah di Indonesia yang bernama Lembah Baliem. Yang saya tahu cuma Baliem’s CafĂ©, sebuah warung kopi yang bertempat di salah satu sudut pusat perbelanjaan di pinggiran ibukota Jakarta. Entah apakah saya yang kurang bergaul dengan Atlas atau apakah nama Lembah Baliem memang kalah tenar dengan nama-nama daerah lainnya di Indonesia ? Yang jelas memang saya tidak tahu menahu tentang nama Lembah Baliem, sampai suatu ketika saya mendengar Slank membawakan sebuah lagu yang berjudul persis seperti nama sebuah perkampungan primitif di pedalaman Propinsi Irian Jaya itu.

Ya, Slank. Sebuah grup musik papan atas Indonesia, atau mungkin lebih tepat lagi kalau kita sebut Rock Star-nya Indonesia. Dengan intro petikan gitarnya, kita dibawa masuk jauh ke dalam nuansa timur Indonesia.

Aku ngga perlu uang ribuan.
Yang aku mau uang merah cepe’an.

Begitu lirik pertama yang keluar dari mulut Kaka, sang vokalis. Penuh rasa memiliki menyelimuti para personel Slank dalam mebawakan lagu yang memang bercerita tentang kondisi masyarakat saudaranya di Lembah Baliem itu. Aneh memang. Sebuah grup band yang selama ini identik dengan narkoba, secara mengejutkan tiba-tiba menciptakan sebuah lagu yang bercerita tentang kondisi saudara-saudaranya yang sebangsa dan setanah air, yang memang masih terbelakang. Mereka jauh lebih care dengan bangsanya ketimbang Kabinet Gotong Royong-nya mba Mega, yang terus-terusan menjual aset-aset negara kepada luar negeri.

Kepolosan. Itulah yang ingin ditunjukkan Kaka dan kawan-kawan di dalam lagu Lembah Baliem. Lembah Baliem memang tidak peduli dengan keadaan globalisasi sekarang. Ya, bagaimana mau peduli kalau kehidupan mereka masih sangat jauh dengan gaya hidupnya cosmoners di Jakarta, yang selalu sibuk dikejar-kejar deadline dan nongkrong di Starbucks atau datang ke acara Ladies Night. Sedangkan dari pemerintah tampak jelas sekali tidak ada usaha yang intensif dalam menangani keterbelakangan bangsanya ini. Sehingga gaya hidup Lembah Baliem masih cocok kita tempatkan sebagai display di salah satu sudut museum Gajah di Jalan Merdeka Barat.

Aku ngga butuh kedudukan. Yang penting masih ada lahan ‘tuk makan. Asal ada babi untuk dipanggang. Asal banyak ubi untuk dimakan. Aku cukup senang.

Terus-terusan kata-kata polos itu dilantunkan Kaka mewakili saudara-saudaranya di Lembah Baliem. Mereka hanya butuh makan, bukan kedudukan. Bukan kekuasaan seperti yang diperebutkan Ladies and Gentleman di DPR. Asal ada babi dan ubi untuk dimakan saja mereka sudah bisa survive dalam kehidupan di dunia ketiganya.

Demikian seterusnya Slank mencurahkan rasa sayang kepada negerinya, dengan menyisipkan kutipan lagu Yamko Rambe Yamko di akhir lagu. Sangat mengesankan. Seharusnya lagu Lembah Baliem-nya Slank bisa dijadikan pertimbangan bagi pemerintah untuk setidaknya menganugerahi Slank sebuah gelar kehormatan atas rasa kecintaan mereka terhadap tanah airnya, justru disaat mereka sedang berusaha keras keluar dari jeratan narkoba. Jadi jangan hanya para konglomerat saja yang diberikan gelar kehormatan. Atau bahkan apa perlu Slank ikut debat politik dengan mba Mega sebagai calon Presiden pada Pemilu 2004 ? Sehingga mungkin nanti akan ada untuk pertama kalinya posisi Presiden di duduki oleh lima orang sekaligus (Dewan Presidium) yang tergabung dalam Partai Slank.

Hahaha ! tidak, jangan takut mba Mega, saya hanya bercanda koq. Ini hanya sebuah teguran bagi kita semua, bahwa masih ada saudara kita yang masih jauh terbelakang kehidupannya dari ibukota. Sampai-sampai Slank saja tergugah untuk mengangkat nama Lembah Baliem sebagai salah satu judul lagunya. Terima kasih, Slank
!