Sunday, September 16, 2007

Negara Warung Sate

Langkah Presiden SBY yang berlarut-larut dalam proses reshuffle kabinet jilijd kedua yang akhirnya baru saja terealisasikan , tidak hanya menarik perhatian pentas politik, tapi juga seluruh lapisan masyarakat dan bangsa Indonesia. Setidaknya bagi saya yang kebetulan memiliki kesempatan berada dekat dengan sang decision maker untuk keperluan pemberitaan, yang geuleuh mengikuti dan menunggu perkembangan gerak-gerik dan manuver apa yang sebenarnya ingin ditempuh Presiden.

Tak kurang dari dua bulan sejak isu tersebut bergulir, kami (saya dan reka-rekan wartawan istana – red) praktis 24 jam non-stop selalu memonitor setiap suara yang keluar dari corong siapa pun di lingkungan kepresidenan. Tentu saja yang terjadi, hampir seluruh media massa di Indonesia memublikasikan rencana reshuffle sejak masih sebatas wacana, hingga detik-detik menjelang diumumkan.

Apakah memang ini strategi komunikasi Presiden yang sayangnya malah mencitrakan (image) dirinya sebagai pribadi yang penuh dengan keragu-raguan, tidak tegas, limbung dan mudah digoyang oleh tekanan partai politik yang diakomodir dalam kabinet ? Setidaknya lantas kesan yang timbul, Presiden telah menciptakan gaya public relations yang terlalu mengandalkan media dalam pembangunan citranya (media development), bukan masyarakat (community development).
Memang benar media merupakan salah satu alat yang paling sakti untuk membentuk citra baik pada sebuah lembaga maupun pribadi, namun tapi bukanlah yang satu-satunya. Masyarakat sudah lebih pintar menilai, sehingga tidak sedikit yang tidak percaya 100 persen terhadap media. Karenanya kedua strategi itu haruslah sama-sama digerakkan guna menghasilkan pencitraan yang sempurna, mengingat dewasa ini opini tidaklah hanya terbentuk lewat media. Sementara masyarakat sudah mampu membuat, bahkan memutar balik opini yang terbentuk.

Bayangkan saja, begitu sering Presiden berbicara lewat media hanya untuk sekedar menangkal serangan lawan politiknya, yang mengecap dirinya sebagai pribadi yang penuh keraguan dan ketidak tegasan dalam berbagai kebijakan yang diambil. Terakhir Presiden membela dirinya di tengah-tengah jamaah di sebuah Islamic Center di kawasan Kwitang, akhir April lalu.

Seharusnya tak perlulah seorang Presiden menanggapi sendiri hal-hal sepele semacam itu. Kalau mau dan jika sudah kepepet, masih ada juru bicara atau sekretaris kabinet yang bisa dijadikan mulut kedua. tapi juga lihat-lihat dulu, jangan semua bentuk kritikan ditanggapi walaupun keluar dari bibir jubir. karena selayaknya citra itu muncul dan terbentuk dari luar (publik), bukan dari dalam.

Bernegara itu layaknya usaha membuka sebuah warung sate yang laris dan diserbu pelanggan. Pertama, bagaimana agar warung bisa ramai pengunjung dan pelanggan (marketing and promotion). Kedua, bagaimana menjaga agar pelanggan tetap setia dengan menjaga kualitas makanan yang dijual. Semuanya itu mutlak wajib dipenuhi demi sebuah citra yang baik.

Bayangkan kalau kita membuka sebuah warung sate ayam, dan di depannya terpampang spanduk bertuliskan, “Bumbu Kacangnya Enak Lho !! Mampir Aja kalo ‘Ga Percaya !!”. Hmmm…. Kalau menurut saya sih itu agak narsis dan terkesan sebuah warung sate yang sepi pembeli tentunya. Tapi coba seandainya kita mengandalkan jurus ibu-ibu bergosip. Dari mulut ke mulut lontarkan saja kalimat seperti, “Eh Jeung, itu lho di sana ada warung sate ayam baru. Katanya sih bumbu kacangnya wuueenak, dan dagingnya wuueemmpukk !!”. Yaa, kalau masih tidak laris berarti memang rasa bumbunya yang kurang ma’nyuss, atau nasib kita yang kurang baik.

Seperti itulah seharusnya Presiden membentuk dan menjaga citranya. Mungkin akan lain cerita jika seandainya dirinya memosisikan diri sebagai pemilik warung sate, dengan staf khusus dan menteri-menterinya sebagai para operational manager, marketing, sales, finance dan lain-lainnya, sementara warga negara dan bangsa sebagai pembeli.

Sosok seorang Presiden seharusnya bukan untuk meladeni serangan dari lawan politiknya. Kalau mau ya dengan cara yang berbeda, seperti strategi komunikasi pemasaran (marketing) warung sate di atas misalnya. Dengan menggunakan alat-alat politik di bawahnya, seperti biarkanlah kader partainya yang meng-counter serangan-serangan lawan, sementara dirinya membereskan dari dalam dengan berbagai gebrakan. Salah satunya ya soal reshuffle yang terlalu berlarut-larut itu. Yang seharusnya bisa ditanggapi secara reaktif denga benar-benar menggunakan hak prerogatifnya.

Yaa, terlepas dari kepentingan partai politik yang menjadi koalisi pemerintah, maka kesan pribadi Presiden yang ragu-ragu dan tidak tegas, tentunya bisa sedikit diminimalisir.

No comments: