Sunday, September 16, 2007

Indra ke-Enam

Rasanya kurang afdol bila melewati malam di kota gudeg Jogja tanpa menyempatkan diri untuk melipat kaki sejenak untuk merasakan nikmatnya lesehan Angkringan, yang tak kalah nyaman dengan duduk-duduk di coffee shop hotel berbintang atau sudut-sudut mall seperti Starbucks dan Coffee Bean. Justru suasana kota Jogja yang sangat khas dengan bangunan-bangunan tuanya penginggalan kolonial Belanda yang mampu melupakan sesaknya tinggal di ibukota, yang dipenuhi deratan gedung pencakar langit, yang seakan membuat pupil mata jarang membesar.

Angkringan atau kalau bahasa gampangnya duduk di atas tikar dengan secangkir kopi jahe dan cemilan sebagai teman ngobrol, mudah sekali dijumpai di kota Jogja. Kebetulan pekan lalu saat mengikuti kegiatan Presiden di sana, saya dan beberapa teman wartawan sempat melewati malam dengan duduk-duduk di sekitar Alun-alun Keraton Kasultanan Jogjakarta untuk menikmati angkringan.

Hmm…benar-benar suasana yang sangat khas, apalagi ketika sekelompok penyanyi jalanan menyanyikan lagu kebangsaannya masyarakat Jogja ciptaan Mas Katon Bagaskara bersama Kla Project-nya.

Tapi ada daya tarik lain sebenarnya kenapa kami memilih Alun-alun Keraton, bukan di tempat lain seperti Jalan Malioboro. Yaitu sepasang pohon beringin yang selalu dipadati pengunjung, siang dan malam.

Ya betul, dua pohon beringin besar bilamana jika kita bias berjalan melewati di antara keduanya, konon apa yang kita inginkan akan terkabul, konon lagi artinya yang mampu hanyalah seorang yang berpribadi bersih dan lurus.

Tapi ternyata selama ini tidak banyak yang mampu menembus ruang kosong selebar kurang lebih sepuluh meter di antara dua pohon itu. Bahkan selama kurang lebih dari dua jam kami di sana, dari puluhan atau bahkan mungkin ratusan orang yang memenuhi area seluas lapangan bola tersebut, tak satupun yang berhasil. Padahal kalau dipikir, sepuluh meter itu kira-kira , hmmm…selebar tiga lajur jalan tol, plus lajur daruratnya lah.

Pantas saja, karena ternyata kita harus berjalan dengan mata tertutup, ditambah lagi waktu itu sudah gelap karena jam sudah menunjukkan pukul 22.00.

Lantas saya pun tertantang untuk mencobanya, dengan langsung menggunakan penutup mata yang banyak disewakan dengan harga 3000 rupiah, selamanya sampai berhasil atau frustasi.

Bismillahirrahmannirrahim… Langkah demi langkah pun mulai saya jejakan di jalur berpasir selebar 10 meter dengan panjang sekitar 50 meter.

Gelap, disorientasi, dan seketika sensitif sekali indera pendengar saya. Mungkin terjadi karena indera penglihat dilumpuhkan untuk sementara. Hal yang alamiah nampaknya terjadi tentunya.

Lantas mulailah saya berstrategi dengan berpatokan pada suara jangkrik dari arah pohon sebelah kiri telinga, suara orang mengaji dari belakang telinga kiri, dan suara tabuhan gendang dan gitar pengamen serta kendaraan motor yang selalu berpindah-pindah tempat, yang membuat konsetrasi buyar.

Sekitar 5 atau 10 menit kemudian setalh terbata-bata, tiba-tiba hamparan pasir di kaki berubah menjadi terasa seperti hamparan rumput. Harusnya genangan airlah yang terasa jika sudah hampir berhasil, bukannya rumput. Karena kebetulan beberapa jam sebelumnya sempat turun hujan, dan tepat di antara kedua pohon digenangi air semata kaki.

Lalu terpaksa saya bukalah penutup mata.

Duuaaaarrrr !!!!! kenapa melenceng jauh ke kanaann ????

Begitu seterusnya hingga uji coba yang mungkin sudah belasan kali, dan jarum jam sudah beralih ke angka sepuluh malam lewat. Artinya satu jam lebih sudah saya gagal menorobos rintangan.

Namun seakan ada panggilan jiwa yang meyakinkan bahwa saya bias melewati rintangan ini, sehingga untuk kesekian kalinya saya coba dan nampaknya inilah kesempatan terakhir. Yang artinya kalau gagal, berarti saya bukanlah orang yang berhati bersih dan lurus.

Sementara suara jangkrik selalu berpindah tempat, begitu juga yang lainnya sehingga sangat sulit untuk dijadikan patokan. Hanya saja sayup-sayup suara orang mengaji dari kejauhan masih terus terdengar dari belakang telinga kiri. Tapi anehnya ketika bertanya kepada teman-teman yang masih setia memberi semangat, tak satupun dari mereka yang mendengar suara orang mengaji.
Ya sudah, Bismillahirrahmannirrahim lagi… Denga penuh kehati-hatian dan konsentrasi saya coba untuk yang terakhir kalinya. Berhasil Alhamdulillah, tidak ya nasib.

Tapi beberapa menit kemudian,seketika suara menjadi sunyi senyap dan semua menghilang dari pendengaran. Yang tersisa kini hanya terasa sekali seperti keberadaan sesosok benda besar di kiri kanan saya, dan ruang yang sedikit bergema. Dan yang paling mengejutkan, air ternyata sudah menggenangi telapak kaki.

Subhanallah.. Tak lama terdengar suara riuh teman-teman dari belakang yang meneriakan keberhasilan saya melewati jalan di antara kedua pohon keramat itu.

Wuiiiiihhhh… Senangnya, akhirnya berhasil juga. Tak terasa memakan waktu sudah satu setengah jam lebih. Betis rasayanya ingin sekali langsung mendapatkan pijatan dari siapapun yang bersedia memijat.

Huuaahhh !!! Tak banyak ekspektasi, selain berdoa mudah-mudahan apa yang saya dambakan dan cita-citakan dapat tercapai, dan sosok pribadi yang bersih dan lurus itu hinggap dalam raga seorang Wahyu Adhika Wiwoho. Tentunya bukan karena mitos kedua pohon itu, melainkan karena filosifinya yang sangat bagus, didukung keimanan kita kepada Sang Pencipta.

Selain itu, bisa diambil pelajaran berharga bahwa sebenarnya setiap manusia bisa dan mampu memiliki indera keenam, yaitu instinct dan kekuatan positif pada diri. Atau paling tidak kita bisa menggunakan setiap indera yang ada pada tubuh untuk menutup kekurangan indera yang lain. Dalam hal ini indera pendengar sebagai alat bantu indera penglihat.
Tapi ngomong-ngomong, siapa yang mengaji ya ????

No comments: