Sunday, September 16, 2007

Wayang = Orang Indonesia

Jauh berbeda dengan kamar tidur anak kecil kebanyakan yang dihiasi poster, mainan figure super hero atau boneka, sejak duduk di taman kanak-kanak saya terbiasa memandangi jejeran wayang kulit yang digantung di sekeliling dinding kamar. Ada Pandawa Lima bersaudara; Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa; ada juga tokoh manusia setengah kera, Hanoman; dan juga tak ketinggalan si otot kawat tulang baja, Gatotkaca. Mereka semua adalah para ksatria dalam cerita pewayangan.

Memang sejak kecil ayah yang memang asli anak pesisir pantai utara Jawa sudah menanamkan budaya leluhur kepada anak-anaknya. Salah satunya ya melalui wayang tadi. Tujuannya jelas, demi pembentukan diri agar terbentuk pribadi yang luhur dalam diri anak-anaknya.

Beberapa waktu lalu di sebuah media cetak nasional, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI Jero Wacik menyinggung soal pentingnya pelestarian wayang sebagai salah satu kekayaan budaya bangsa. Menurutnya unsur cerita dan tokoh pewayangan memiliki nilai dan pesan filsafat kehidupan yang sangat tepat untuk membentuk budaya bangsa yang akan menjadi potret orang Indonesia sampai kapan pun.

Saya setuju, dan sangat-sangat setuju dengan pemikiran beliau. Bahkan itulah yang menjadi alas an kenapa saya membuat tulisan singkat ini.

Menurut beberapa sumber, wayang mulai berkembang di Indonesia sebelum masuknya ajaran Hindu di pulau Jawa. Dan pertunjukan kesenian wayang adalah salah satu bentuk upacara keagamaan orang Jawa yang menganut kepercayaan animisme dan dinamisme, mengenai sosok leluhur yang dituangkan dalam bentuk gambar di atas sehelai daun lontar. Kemudian selanjutnya seiring masuknya ajaran Hindu, kerajaan – kerajaan Jawa yang menganutnya bertahap mengembangkan wayang yang dilebur dengan cerita – cerita atau epos (karya sastra kuno-red) dari India. Masih ingat film Mahabarata yang diputar di sebuah stasiun televisi swasta pada pertengahan tahun 90-an ?? Nah itulah salah satu epos yang paling terkenal yang bercerita tentang konflik para Pandawa Lima dengan saudara sepupu mereka Kurawa, mengenai sengketa hak pemerintahan tanah negara Astina. Puncaknya adalah perang Bharatayuddha di medan Kurusetra. Pertempuran tersebut berlangsung selama delapan belas hari.

Metamorfosa dari jaman ke jaman itulah yang menandakan betapa hebatnya wayang sehingga terpatri dalam budaya bangsa, khususnya Jawa. Mungkin lebih tepatnya lagi menjadi cermin diri orang Jawa. Bukannya mentang-mentang saya orang Jawa lantas ingin membeda-bedakan suku dan ras bangsa Indonesia yang beragam lho, tapi toh memang pada nyatanya suku Jawa terbukti lebih dominan atau menjadi mayoritas di Indonesia, dari segi jumlah. Selain itu wayang pun juga akhirnya menyebar ke penjuru negeri ko’, dengan adanya wayang Bali dan bahkan sampai ke Melayu. Maka dari itu sangatlah tepat dan benar, perlunya keseriusan pemerintah dalam melestarikan wayang.

Saya pun sebenarnya akhirnya juga tidak terlalu mengerti dan memahami atau mendalami cerita pewayangan secara detil. Tapi setidaknya dari cerita wayang itulah saya mengetahui banyak manfaat dan pelajaran mengenai kehidupan yang sangat baik untuk dijadikan pedoman.

Salah satu cerita yang paling saya ingat adalah cerita mengenai asal usul sosok tokoh manusia raksasa yang penuh angkara murka, Rahwana.

Dalam cerita pewayangan Rahwana lahir dari suatu hubungan gelap antara seorang tokoh sufi yang sakti manderaguna, Begawan Wisrawa dan seorang puteri kerajaan Alengka, Dewi Sukesi. Pada jamannya Dewi Sukesi merupakan seorang puteri raja yang cantik jelita, dan kekasih dari Prabu Danapati, putera Begawan Wisrawa. Namun untuk melanjutkan hubungan keduanya ke jenjang bahtera rumah tangga ternyata harus menempuh banyak rintangan. Salah satunya harus mengubah sosok kedua orang tua Dewi Sukesi yang ternyata berasal dari golongan raksasa, menjadi wujud manusia.

Alih punya alih, ternyata tidak ada yang memiliki ilmu setinggi itu yang mampu menuruti keinginan Dewi Sukesi untuk mengubah hal yang sepertinya mustahil, selain Begawan Wisrawa, calon ayah mertuanya sendiri. Dan Dewi Sukesi nampaknya ingin menggunakan ilmu itu seorang sendiri. Lantas tidak tidak ada cara lain selain Begawan Wisrawa yang harus menransfer ilmunya ke si calon mantu.

Namun untuk menghindari adanya mahluk lain yang bisa ikut mendengar dan mempelajari mantera tersebut, dilakukanlah proses transfer ilmu di dalam ruangan yang amat sangat rapat tertutup. Tapi sayangnya mereka lupa kalau di ruang yang super ketat itu iblis masih bisa masuk. Apalagi mereka hanya berdua, antara seorang tua renta dan perempuan yang teramat cantik jelita.

Bisa ditebak, walaupun sudah tua renta ternyata dengan “bantuan” iblis Begawan Wisrawa ternyata kembali lagi syahwatnya layaknya anak muda yang menggelora. Dengan “bantuan” iblis pula Dewi Sukesi yang masih suci ternyata ikut membara, dan gelap mata melihat kejantanan calon mertuanya.

Dan, terjadilah sudah hubungan maksiat yang sangat menggemparkan dalam salah satu cerita
pada epos Ramayana itu, dengan hamilnya Dewi Sukesi. Mungkin akan untung jadinya kalau jabang bayi yang kelak lahir nanti menjadi seorang yang sakti manderaguna seperti Begawan Wisrawa. Tapi kalau sesosok anak raksasa seperti Prabu Sumali, Raja Alengka, yang juga ayahanda Dewi Sukesi ?!

Kejahatan menciptakan kejahatan, kebaikan pasti menciptakan kebaikan. Setiap niat jahat pasti menghasilkan kejahatan, dan setiap niat baik pasti menghasilkan kebaikan. Begitulah tadi cerita asal mulanya tokoh Rahwana, si raja kejahatan berwajah sepuluh yang amat sangat angkara murka dalam epos pewayangan Ramayana. Ceritanya sungguh apik dan amat sangat sarat makna, serta mudah dicerna. Bayangkan kalau nilai dan pesan yang sangat luhur ini tertanam dalam setiap jiwa bangsa Indonesia. Sehingga jiwa ksatria tidak hanya hinggap dalam siri sosok seperti Pandawa Lima bersaudara, tapi juga seluruh saudara-saudara kita sebangsa setanah air.

No comments: