Sunday, September 16, 2007

Balada Tombak, Pedang dan Peluru

Tak ada aktifitas yang lebih menggiurkan selain tidur dan bermalas-malasan di hari libur yang bebas dari segala kepenatan. Terutama penatnya merasakan kemacetan jalanan ibukota yang blerlkeberjbklaebjrljebr, alias berlibet bak benang kusut. Kebetulan jatah libur saya adalah hari Jum’at dan Sabtu. Untuk hari Jum’at, biasanya setelah istri berangkat kerja, saya pun melanjutkan tidur malam yang sedikit kepotong hingga pukul 10:00 wib, sambil menonton tayangan program yang saya kerjakan di kantor. Setelah itu tentunya Jum’at-an, yang diteruskan dengan acara makan dan tidur siang (lagi-red). Lanjut sorenya menjemput istri tercinta di kantor, kemudian sambil menunggu “benang kusut” kembali “tergulung rapi”, bersama teman-teman kami sering mengadakan meeting mingguan alias ngopi-ngopi di mal. Sedangkan untuk hari Sabtunya, yaa biasalah, kalau ga’ midnite-an film baru ya paling menyambangi undangan resepsi pernikahan yang tak ada habis-habisnya itu.

Tapi ada yang sedikit berbeda dari minggu-minggu biasanya. Jum’at pekan lalu saya terpaksa tidak bisa bermalas-malasan karena ada sebuah peristiwa yang terbilang langka. Apalagi kalau bukan berita dari timur jauh Pulau Ambon, tempat di mana simpatisan Republik Maluku Selatan (RMS) berhasil menorobos “tebalnya” pengamanan acara peringatan Hari Keluarga Nasional ke-61 yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Lapangan Merdeka, Ambon.

Weeekkk….!!!!! Kaget, terkejut, tapi agak sedikit senyum-senyum sekaligus tak heran mendengar berita tersebut. Coba bayangkan, pengamanan Presiden yang berlapis-lapis super ketat bisa tertembus puluhan penari ilegal yang tergabung dalam Republik Maluku Selatan (RMS), sebuah kelompok separatis yang kecewa terhadap lambatnya proses pembangunan di Maluku oleh pemerintah.

Seketika langsung saja saya pencat-pencet nomer telfon rekan-rekan yang connected dengan kegiatan kepresidenan, dan rekan koresponden di sana, dengan berinteraksi lewat sms:

Saya : Oii…gimana tuh, ko’ bisa bobol ??
Rekan 1: Aduuhh, payah deh pokonya !

Saya : Heh, di mana lo ?? Ikut ke Ambon ga ??
Rekan 2: Ga, gue libur

Saya : Gmana, dapet ga gambarnya ??
Rekan 3:Dapet.

Tiga ring atau tiga area lingkar pengamanan yang biasa diterapkan dalam prosedur keamanan Super VVIP seperti Presiden, biasanya diisi oleh personel dari Kepolisian untuk ring 3 atau yang terluar, kemudian personel TNI untuk ring 2, dan yang paling dalam atau yang paling dekat dengan Presiden diisi oleh personel Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres) yang siap sedia menjadi benteng perlindungan sang Kepala Negara. Saya yang sering ikut acara Kepresidenan tahu betul bagaimana ketatnya pengamanan di lokasi. Kalau dihitung-hitung total tak kurang lah dari seratus personel keamanan yang standby di pos-nya masing-masing. Belum lagi metal detector yang bertebaran di mana-mana yang siap menyensor siapa pun yang membawa alat-alat berbahaya. Ditambah lagi setiap orang yang ingin masuk kudu-harus-wajib memegang kartu identitas khusus, yang sebelumnya didapat dari hasil screening oleh Biro Pers dan Media Kepresidenan.

Nah, kurang ketat apalagi coba ?! Maka dari itu saya sampai tak habis pikir, ko’ bisa-bisanya puluhan orang tak dikenal bablas masuk dengan berbagai atribut seperti tombak dan pedang, walaupun hanya terbuat dari kayu, serta bendera “kenegaraan” mereka. Melihat tayangannya pertama kali saja bulu kuduk berdiri merinding, karena terlihat seperti adegan dalam film yang menggambarkan upaya pembunuhan Kepala Negara oleh sekelompok suku pedalaman yang sadis. Untung saja tombak-tombak yang mereka bawa tidak dilemparkan ke tribun Presiden. Duhh, piye iki ??

Jadi siapa yang seharusnya “mengaku” bersalah dan bertanggung jawab ?? Dari mulai Kapolri, Panglima TNI, serta Danplek (Komandan Komplek) Paspampres pun bernada beda, bahkan terkesan saling melempar tanggung jawab.

Sesaat setelah insiden terjadi Kapolri melalui Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Pol Sisno Adiwinoto mengatakan kalau pihaknya tidak kebobolan melainkan aksi “penggagalan” pembentangan bendera RMS justru buah cermin kecermatan anggotanya. Sedangkan Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto mengatakan kalau itu merupakan kelalaian aparat. Tapi dengan sensitif Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sjamsir Siregar merasa tersinggung kalau pihaknya sudah kebobolan. Malah dengan “telatnya” pihaknya merasa telah memberi informasi kepada semua pihak, termasuk penyelenggara, soal rencana penyusupan pembentangan bendera RMS, jauh-jauh hari sebelumnya.

Nah, bagaimana dengan Paspampres ??

Saya jadi ingat beberapa kali kasus “kebobolan” juga pernah terjadi di dalam lingkungan Istana Kepresidenan sendiri. Beberapa teman wartawan yang tidak memiliki akses masuk resmi bahkan driver sebuah stasiun televisi swasta yang tidak mempunyai kepentingan pun bisa berkeliaran bebas di dalam istana, setelah menembus barikade pengamanan pintu masuk yang dijaga ketat oleh beberapa anggota Paspampres, yang berjumlah dua check point.

Lah, ko’ bisa ?? Caranya gampang, tinggal menunggu serombongan wartawan istana yang ingin masuk saja dengan bergabung di tengah-tengah antrian mereka, maka masuklah dengan aman dan lancar ke titik paling vital negara. Padahal dua check point yang ada itu benar-benar dijaga oleh mas-mas berbadan tegap dan sangar dari satuan Paspampres.

First check point ada di pintu masuk kendaraan ber-sticker resmi istana persis di pinggir Jalan Veteran di sayap kiri istana. Di situ semua orang yang masuk harus menunjukkan ID Card resmi keluaran Biro Pers dan Media Rumah Tangga Kepresidenan, serta melewati security door untuk orang, dan x-ray untuk barang-barang yang dibawa. Pakaian yang dikenakan pun harus formal, yaitu celana bahan dan kemeja serta sepatu pantopel untuk pria. Sedangkan untuk perempuan rok atau celana bahan serta kemeja atau blous, lengkap dengan sepatu ber-hak wajib dipakai. Bagi yang tidak memiliki ID Card resmi, harus meninggalkan terlebih dahulu kartu tanda pengenal, serta selanjutnya melalui sedikit screening oleh staff Biro Pers. Setelah melewati check point pertama yang menghubungkan dunia luar dengan area Rumah Tangga Kepresidenan, pengunjung harus melewati lagi second check point bagi yang memiliki keperluan penting di Istana Negara dan Istana Merdeka, serta kantor Presiden. Biasanya para wartawan istana bisa bebas keluar masuk lingkungan ini karena kebutuhan peliputan berita.

Kebayang kan, bagaimana susahnya menembus “3 area pertahanan” sang Kepala Negara ?? Maka sepatutnya tak usahlah saling menuduh siapa yang harus bertanggung jawab. Wong pengamanan dalamnya saja “sering” kebobolan ko’. Tapi anehnya ya itu tadi, bagaimana puluhan orang dengan berbagai alat tari berupa tombak dan pedang bisa menembus ribuan puluru yang siap kokang ??

Silahkan jawab sendiri dengan akal sehat. Terima kasih.

No comments: