Monday, September 17, 2007

Gempa + R (Rumor) = Gempar

Masih ingat isu gempa besar dan tsunami yang dikabarkan akan melanda beberapa kawasan Indonesia awal Juni lalu ? Konon katanya berawal dari salah satu stasiun televisi terkemuka dunia, yang diteruskan menyebar melalui sms. Menurut kabar yang entah kabar burung atau kabar monyet itu, ibukota Jakarta merupakan salah satu kawasan yang akan ikut diguncang. Maka paniklah para cosmo man dan cosmo girl yang rutinitasnya dihabiskan di gedung-gedung pencakar langit, yang kerap menjadi sasaran empuk gempa.

“Aduh boo’..gue pokonya ga mau masuk kantor besok. Daripada gue brojol di tangga darurat !! ”, celetuk seorang teman wanita yang sedang hamil tua.

Itu sih belum seberapa, namanya juga orang hamil, membayangkan proses kelahiran saja parno, apalagi ditambah gempa ?! Tapi kalau yang paniK seorang laki-laki tulen dengan gelar master of bussines administration, yang sehari-hari duduk di ruang terpisah dari staf lainnya, dengan seorang sekretaris pribadi duduk di depan ruangannya ?? …Mmmmm….beli ya mas gelarnya ??

Hal serupa juga hampir saja terjadi pasca gempa besar dengan kekuatan 7,9 skala richter yang memberikan duka bagi warga Bengkulu dan sekitarnya di awal Ramadhan ini. Beberapa hari berselang muncul berita kalau kawasan di pulau Jawa dan Sumatera diprediksi akan merasakan guncangan hebat dengan kekuatan 9 skala richter, dengan berdasarkan indikasi - indikasi tertentu mengenai pergerakan lempengan bumi dalam keilmuan geofisika. Walaupun tak diperinci kapan dan di mana tepatnya pusat getaran, tapi di beberapa media cetak nasional sampai memosisikan berita tersebut sebagai headline di halaman utama, dengan narasumber Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG). Untung saja dalam waktu yang singkat, Kepala BMG Indonesia Sri Woro Budiati Harijono langsung menyangkal kabar burung, monyet dan teman – temannya itu.

Pasca gempa dan tsunami yang membumi hancurkan Nanggroe Aceh Darussalam akhir 2004 lalu, informasi mengenai teknologi bencana terutama gempa, ramai dibicarakan oleh berbagai media nasional dan internasional. Tentunya kalau media yang berbicara sudah pasti pengaruhnya sangat besar dong, apalagi bagi para kalangan terpelajar yang seharusnya mudah mencerna informasi.

Salah satu yang paling sering kita dengar yaitu Early Warning System. Suatu alat teknologi mutakhir yang dalam sekian detik mampu mendeteksi getaran gempa tektonik (di laut), apakah berpotensi menimbulkan tsunami atau tidak. Itupun setelah gempa terjadi, dan bukannya memprediksi kapan terjadinya gempa ya. Secanggih-canggihnya seismograph hanya bisa mencatat dan mengukur besarnya getaran yang terjadi, bukan memprediksi, meramal atau dan sebagainya. Bahkan Menristek Kusmayanto Kadiman dalam sebuah media massa mengatakan, kalau teknologi Early Warning System walau canggih sekalipun ternyata tidak dapat dijamin tepat 100 persen. Menurutnya masih banyak faktor-faktor yang bisa mempengaruhi kerja alat pendeteksi tersebut.

Mungkin anda yang sedang membaca tulisan singkat ini tahu mana negara yang kerap menjadi salah satu langganan gempa. Yup, Jepang ! Negara yang pernah menjajah negeri kita sebelum negerinya sendiri merasakan ganasnya bom atom Amerika ini paham betul bagaimana menyikapi dan mengantisipasi gempa bumi. Bahkan kurikulum pendidikan sejak tingkat dini di sana sudah mengenal pembelajaran mengenai gempa. Sehingga diharapkan jika kelak bencana itu datang, mereka pun sudah mengenal langkah-langkah keselamatan yang baik dan benar, dengan dukungan pendidikan dini mengenal gempa.

Hmm..ngomong-ngomong soal wilayah yang sering dilanda gempa, bukannya wilayah geografis kita juga merupakan salah satu yang rawan gempa ya ?

Betul sekali !! Masih ingat istilah ring of fire ?? Daerah yang sering mengalami gempa bumi
dan letusan gunung berapi, yang mengelilingi cekungan Samudera Pasifik. Daerah ini berbentuk seperti tapal kuda dan mencakup wilayah sepanjang 40.000 km. Daerah ini juga sering disebut sebagai sabuk gempa Pasifik, yang tanpa permisi sudah mampir membelah peta geografis Indonesia. Tapi para ilmuwan sepertinya sudah seringkali menghimbau kalau kapan dan di mana terjadinya gempa, hingga kini belum bisa diprediksi dengan teknologi yang sudah ada sekarang.

Salah satu cara yang tepat ya dengan meniru negeri sakura Jepang dengan menerapkan dalam kurikulum pendidikan pelajaran mengenai gempa bumi secara kompleks, berikut langkah-langkah teknis menghadapinya. Dengan metode pembelajaran seperti itu korban bencana gempa bumi yang dahsyat sekalipun pasti bisa sedikit diredam. Paling tidak mungkin tidak ada lagi cerita mengenai segerombolan orang yang memanfaatkan surutnya air pantai pasca gempa tektonik dengan mengambil ikan-ikan yang keleparan.

Tak lama berselang setelah terjadi gempa bumi di Jogjakarta Mei 2006 yang lalu, saya sempat menonton sebuah film televisi di SCTV, yang bercerita mengenai seorang perantau yang sukses meniti karir di Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), Jakarta. Dalam cerita itu, si perantau harus sesegera mungkin memberi peringatan dini kepada sanak saudara dan orang tua, serta warga kampung halamannya di desa antah berantah, kalau dalam waktu yang sangat singkat akan terjadi gempa besar di daerah tersebut.

@##$#@!!?$#%$@%$!!*&

Apa bukan merupakan suatu teknik pembodohan ini namanya ??? Apa produser dan sutradaranya juga tidak pernah menonton atau membaca berita ??? Ko’ sampai-sampainya sebuah badan Negara disulap menjadi katro !!! Terlepas itu film fiksi, tetap saja segala sesuatunya harus disesuaikan dengan akal sehat manusia dong !!

Bukan bermaksud menggurui atau sok pintar. Tapi saudara-saudara kita di negeri tercinta ini masih banyak yang (maaf) bodoh, Bung !! Negara kita ini kan bangsanya setengah maju-setengah mundur. Jadi janganlah makin memperbodoh bangsa sendiri dengan isu atau rumor yang tidak logis. Bukannya gempa yang terjadi, tapi malah gempa + r , alias gemparrrrr !!!!!

No comments: