Wednesday, March 10, 2010

Kasus Century, Belajar dari Bankir Amerika dong !

Di tengah panasnya perdebatan baik yang relevan maupun tidak (ulah Ruhut panggil "Daeng" ke JK dan insiden "Bangsat" dengan Gayus Lumbuun-red) yang terjadi di ruang Pansus Hak Angket Bank Century di DPR, para bankir di Amerika justru mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan.

Hampir serupa kondisi dan suasananya dengan di Senayan, di depan Komisi Penyidikan Krisis Keuangan oleh anggota Kongres di Capitol Hill, Washington DC, para bankir besar ini mengakui bahwa merekalah pemicu krisis keuangan Amerika yang kemudian menjelma menjadi krisis global.

"Kami melakukan kesalahan itu karena kami merasa mampu bertahan dari krisis, dan yakin muncul sebagai lembaga yang lebih kuat. Kami melakukan kesalahan seperti orang lain," kata Komisaris Utama yang juga CEO JP Morgan, Chase Jamie Dimon, yang saya kutip dari Koran Sindo pagi ini (15/01).

Ditambahkan lagi oleh CEO dan Presiden Bank of America (BoA) Brian Moynihan, "Tidak pernah sejelas ini ada kesalahan yang dibuat perusahaan keuangan yang berdampak pada sektor riil AS, dan kita harus belajar dari kesalahan ini," ungakpnya dengan bijak.

Yaa, bijak..bijaksana, berjiwa besar.

Itulah yang saya rasakan seketika saat itu juga setelah membaca salah satu judul kolom pemberitaan di Koran ini ("Bankir AS Mengakui Berbuat Salah dan Memicu Krisis Keuangan-red). Para bankir yang sebelumnya melakukan moral hazard itu membuat rasa kantuk di pagi hari menjadi hilang, terhapus dengan rasa salut atas jiwa besar mereka yang tidak sungkan untuk menyatakan bersalah dan bertanggung jawab atas keterpurukan bangsanya.

Hmmm....wajar mungkin, mengingat sikap serupa merupakan "endangered attitude" di negeri kita ini. Jangankan mengakui kesalahan, di depan pemeriksaan oleh pansus yang sudah disumpah pun para pejabat atau mantan dan bankir BI yang hadir masih saja memberikan pengakuan yang berbelit-belit, berkelit, bahkan saling melempar tanggung jawab atas penyelidikan di balik pengucuran dana talangan atau bail out sebesar Rp 6,7 Triliun ke Bank Century, hingga asal usul dan sebab musabab terbentuknya bank pimpinan terpidana Robert Tantular, yang ternyata sudah bermasalah sejak awal.

Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani dan mantan Gubernur BI yang juga Wapres Budiono, tetap berpegang teguh dengan alasannya di balik bail out, yaitu atas dasar pertimbangan psikologis pasar agar tidak terjadi rush jika ditutup sehingga berpotensi sistemik terhadap perbankan Indonesia, yang juga sedang dalam situasi terimbas krisis keuangan global pada saat itu.

Padahal satu hal kecil yang terlupakan, mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah pernah menyatakan soal pertemuan dwi bulanan antara BI dan bank - bank yang berpotensi sistemik seperti Mandiri, BRI, BCA, dan lain - lain. Sementara Century ? Ga' masuk tuh dalam daftar bank - bank itu. Artinya, pertimbangan itu masih pro pasar.

Berbeda dengan mantan Wapres Jusuf Kalla yang berseberangan dengan para mantan pembantunya itu, saat Ia ad-interim sebagai Presiden (SBY sedang di Amerika saat bail out keluar-red). JK terlihat lebih pro rakyat dengan mengedepankan ditutupnya Bank Century dan menolak kebijakan blanked guarantee, karena dianggap hanya menguntungkan pasar dan pengusaha. Sementara rakyat harus menanggung beban ganda sebagai akumulasi dana BLBI yang kacau balau itu.

Sampai detik ini masih belum jelas juga ke mana kasus Century akan dibawa dan berakhir. Apakah diselesaikan secara hukum atau politik, mengingat isu - isu yang berkembang seputar kasus ini kerap menyebut nama - nama para aktor pemerintahan.

JK, Sri Mulyani dan Budiono memang saling berseberangan dalam kasus ini. JK mengaku dilangkahi karena keputusan bail out dilaporkan kepadanya terlambat setelah triliunan rupiah mengucur oleh Menkeu dan Gubernur BI. Belum lagi laporan awal Menkeu yang katanya hanya melalui pesan singkat alias SMS senilai 300-an perak, untuk uang triliunan kali lipat. Itupun menurut JK tidak diterimanya. Untuk itu sebaiknya pansus tetap harus mengusut sejauh mana kebenaran pengakuan JK. Begitu juga Menkeu yang merasa tertipu oleh besaran nilai yang mulanya hanya 632 Miliar oleh Budiono.

Tapi ingat, mereka lah para pemangku kebijakan saat itu yang wajib harus mampu mempertanggung jawabkan segala keputusannya, yang tentu seharusnya pro rakyat (kecil) ketimbang pro terhadap deposan besar.

Alasan - alasan seperti analisis yang berbasis psikologis memang layak dipertimbangkan dalam sebuah pengambilan keputusan sektor keuangan. Tetapi hal - hal seperti imunitas hukum bagi sang decision maker justru menjadi sesuatu yang ganjjil. Wong majikannya (Presiden) aja tidak dapat imunitas, lha ko' pembantunya (Menkeu dan Gubernur BI) bisa seenaknya dapat.

Pro kontra soal uang LPS merupakan uang rakyat atau bukan, juga tidak layak lagi diperdebatkan karena jelas, dari mana lagi uang premi yang digunakan bank kalau bukan dari nasabah alias rakyat, walaupun bukan dari APBN.

Bankir Amerika telah memberikan contoh yang sangat baik dengan sikap jiwa besar mereka yang mau mengaku bersalah dan bertanggung jawab, karena krisis yang ditimbulkan bukan hanya "untuk" bangsanya sendiri -- yang berujung pada menganggurnya jutaan American citizens dan ditutupnya 52 bank di sana, termasuk sang raksasa investasi Lehman Brothers -- tetapi juga dunia, termasuk Indonesia yang rupiah-nya sempat terkoreksi 20 persen.

Jiwa besar inilah yang seharusnya diambil sebagai contoh dan ditiru oleh para aktor Century. Terlepas, biarlah proses hukum maupun politiknya berjalan secara adil dan proporsional, yang tentunya disertai political will dari para wakil rakyat yang tengah melakukan investigasi di Pansus Hak Angket Bank Century.

No comments: