Wednesday, February 13, 2008

Bendera Kuning yang Kelabu

Sebelumnya ijinkan saya menyebut nama Almarhum Mantan Presiden Soeharto dengan sebutan Pak Harto. Bukan karena saya setuju dengan kemajuan ekonomi Indonesia yang “katanya” berkat Kapitalisasi dan Soehartonomic-nya, karena saya juga setuju dengan segala kesalahan yang selama ini ditujukan kepadanya. Tapi ijinkan saya memakai sebutan itu, karena saya terlahir dan dibesarkan oleh orangtua dan guru yang memperkenalkan sosok Soeharto, dengan panggilan, Pak Harto.

Jenderal Besar Haji Muhammad Soeharto telah berpulang. Orang yang pernah memimpin bangsa Indonesia selama 32 tahun itu menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, Minggu, 27 Januari 2008, pukul 13.10 WIB. Sebelumnya Pak Harto dirawat selama 24 hari, karena mengalami kegagalan fungsi organ - organ penting di tubuhnya.

Kondisi kesehatan Pak Harto yang terus menurun, menyedot perhatian bukan hanya dari penjuru nusantara, tapi juga dunia. Lamanya duduk di tampuk kekuasaan tertinggi Indonesia membuat dirinya dikenal hingga ke seluruh benua. Lamanya menjadi pengambil kebijakan tertinggi pula, akhirnya membuat dirinya jatuh di tangan rakyatnya sendiri.

Dari sisi ekonomi, Pak Harto dikenal sebagai Bapak Pembangunan karena memang berhasil mendongkrak pendapatan per kapita Indonesia yang hanya US$ 70 di tahun pertamanya menjadi Presiden pada tahun 1967, menjadi US$ 200 dalam tempo 12 tahun saja. Kemudian meningkat lagi menjadi US$ 600, atau meningkat 300 % di tahun 1990, dan selanjutnya menjadi US$ 1100 di akhir - akhir masa jabatannya, pada tahun 1997. Dan juga angka kemiskinan yang sangat mengesankan yang terjadi antara tahun 1987 – 1996, dengan rata – rata 11,3 % dari sekitar 200 juta jiwa.

Atas kemajuan ekonomi Indonesia yang pesat itulah Indonesia juga dikenal sebagai Macan Asia. Dan berbagai program pemberdayaan di segala sektor, seperti Keluarga Berencana (KB), Swasembada Pangan, Wajib Belajar (Wajar) 6 tahun yang selanjutnya menjadi 9 tahun, dan lainnya lah yang dipercaya menjadi landasan dasarnya.

Namun sayang, praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah terlanjur membudaya di era-nya, akhirnya membuat Pak Harto dan juga bangsa Indonesia jatuh. Banyaknya dugaan pelanggaran HAM selama dirinya memerintah juga menjadi alasan rakyat untuk menggulingkannya.

Bagi saya tak peduli orang berkata apa. Memuja Pak Harto silahkan saja, dan mengutuk Pak Harto juga silahkan saja. Saya juga tidak memasang diri saya sebagai pengagum atau pembenci Pak Harto. Hanya saja saya dibesarkan oleh orangtua yang mengajarkan untuk mengambil kebaikan dari seseorang, dan membuang keburukannya. Untuk itulah saya belajar dari orang pintar hingga orang bodoh, dari orang baik hingga orang jahat.

Sejak lahir hingga akhir hayatnya, Pak Harto dikenal sebagai pribadi yang enggan mempercayakan kesehatannya kepada dokter negara lain. Sangat berbeda dengan mantan presiden Indonesia lainnya, yang lebih percaya tenaga kerja asing untuk mengutak – atik onderdil tubuhnya. Sehingga beberapa pekan sebelum meninggal, salah seorang anggota tim dokter Kepresiden mengucapkan terima kasihnya kepada Pak Harto, karena telah menghargai dan mengangkat moral dokter Indonesia.

Jujur saya bangga terhadap Pak Harto. Bagi saya sikap seperti itulah sejatinya yang harus dilakukan negarawan dan juga orang – orang yang mengaku nasionalis. Jadi berkacalah juga bagi para politisi, aktivis, dan warga negara Indonesia yang menuntut kasus hukum Pak Harto beserta keluarga dan kroni – kroninya untuk diselesaikan.

Jangan mengaku nasionalis kalau masih berobat ke luar negeri. Jangan mengaku nasionalis kalau lebih suka berlibur ke luar negeri daripada ke pelosok negeri.

Tapi ya bagaimana lagi. Hukum manusia memang masih tersendat, tapi hukum alam tetap terus berjalan. Tak peduli rasa berduka belum berlalu, rasa benci terus melaju. Bendera kuning Pak Harto pun menjadi kelabu.

No comments: